QUANTUM SPECIAL NEED TRAINING CENTER
Training For Terapis Anak Berkebutuhan Khusus
Ruko Pondok Nirwana, Jl Kedungasem PN-5 Surabaya- Indonesia


Sabtu, 02 Januari 2010

ABUSE YANG TIDAK TERSAMPAIKAN


Sering saya mendengar cerita tentang abuse (perlakuan kasar seperti bentakan atau bahkan pukulan dan bahkan bisa dianggap penganiayaan) yang dilakukan oleh terapis di sebuah sekolah kebutuhan khusus terhadap anak-anak ABK, perlakuan ini tidak terdeteksi oleh orangtua karena sangat kebetulan anak-anak tersebut mengalami hambatan komunikasi yaitu keterlambatan bicara atau bahkan belum mampu mengeluarkan kemampuan verbal sama sekali kecuali menangis. Menyedihkan memang, ketika anak-anak ini menjadi ajang katarsis emosional bagi para terapisnya akibat keputusasaan dalam menangani anak-anak ini. Suatu kabar gembira bagi para orangtua yang memasukkan anaknya ke pusat terapi dimana tempat tersebut memiliki sarana CCTV, sehingga para orangtua bisa mengetahui apa saja intervensi yang diberikan dan bagaimana perlakuan yang diterima sang anak. Tetapi bagaimana dengan pusat terapi dari kalangan (mohon maaf) marginal yang belum mampu membeli sarana CCTV tersebut, sehingga para orangtua tidak mampu melihat apa yang terjadi pada si anak.
Melihat fakta yang ada selama ini, muncul dinamika perkembangan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, pada suatu saat anak-anak karena difasilitasi oleh banyak hal akan membantu pola perkembangan yang diharapkannya, tetapi kadangkala anak-anak juga mengalami perkembangan yang stag atau bahkan mundur ke beberapa usia sebelumnya (lebih tepatnya kemampuan yang dimiliki) seperti perilaku, emosional, bina diri dan akademis. Layaknya kita yang mengerti dan memahami kondisi anak-anak ini sadar betul bahwa tidak boleh ada tuntutan bagi si anak untuk terus berkembang dengan dipaksakan, biarkan anak-anak bertumbuh secara alami. Kondisi abuse yang dialami oleh anak-anak selain menimbulkan faktor trauma yang kronis (apalagi bila terjadi pada anak-anak yang mengalami speech delay karena tidak mampu mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya) juga berakibat kemunduran pada perkembangannya, biasanya akan terjadi reject dan polarisasi perilaku destructive tertentu, seperti mudah tantrum, BAB sembarangan atau menolak pengajaran akademis. Sementara yang akan lebih sulit untuk dibenahi adalah kondisi traumatis yang dialami oleh anak, hal ini akan memperumit gangguan yang sudah pernah ada.
Orangtua manapun tidak akan pernah bisa menerima ini, sekalipun mungkin masih ada beberapa orangtua yang karena disperate dengan kondisi anak misalnya melakukan kekerasan atau bahkan pukulan, tetap tidak bisa menerima apabila ada anak-anak yang mendapatkan kekerasan dari pihak lain. Terapis atau guru adalah sosok pengajar yang wajib menanggalkan kondisi emosionalnya pada saat terjadi proses terapi, dan jangan pernah terjadi menjadikan anak-anak didiknya sebagai ajang katarsis apabila memiliki masalah yang berasal dari rumah. Sudah menjadi konsekuensi seorang guru atau terapis untuk selalu bisa berganti peran dimana dia berada sehingga tidak melibatkan anak-anak dalam proses penyelesaian masalahnya. Hal yang harus dilakukan oleh orangtua yang memiliki anak- khusus dan mengikuti terapi di sekolah yang kita tidak bisa memantau proses terapi adalah terus aktif dan intens mengamati perkembangan anak dan bertanya pada pihak center. Hal ini perlu mengingat semuanya bisa saja terjadi dan menjadikan antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.

1 komentar:

benksblues mengatakan...

nice artikel
salam kenal yach Gan
dari kami pelangsing tubuh cekidot Gan ;)

Posting Komentar